Tulisan ini adalah refleksi pribadi setelah menamatkan one of the best book buatku Psycho-Cybernetics, mengenal Imago Dei, dan berdamai dengan ketakutan sendiri.

Anyway, buku ini akhirnya berhasil aku kelarin baca setelah maybe setengah tahun lebih, maybe. Sempat berhenti, and sempat rajin, and memang baca buku ini memang gak bisa langsung banyak-banyak halaman. Karena tiap beberapa halamannya langsung bikin aku mikir, dan bahkan refleksi. Makanya buku inilah yang banyak coretannya dariku.

🙂

Tulisan ini muncul di momen di mana aku merasa harus kembali ke diriku sendiri. Dan ternyata, jalan pulangnya bukan dengan banyak mikir, tapi cukup dengan satu hal: menulis.

Hari ini aku memutuskan pergi ke Purwakarta, and hari ini pula tulisan ini jadi. One day trip, sendiri. Bukan untuk healing, bukan demi aesthetic, tapi karena aku tahu: aku perlu menulis. I need to write.

Karena setiap kali aku stuck dan gak tahu kenapa aku ngerasa kosong atau anxious atau ngawang, satu hal yang selalu jadi pintu balikku adalah: duduk, buka buku catatan, lalu pindah ke laptop, dan mulai nulis.

Pas aku bisa menulis, bukan hanya di buku catatan tapi di laptop juga—aku merasa cerah banget. Jiwaku ngerasa hidup. Everything could be good, and I know what I should do and what I look forward to.

Kayak Psycho-Cybernetics bilang, “One life has many channels.”

Dan ketika aku bisa menyambungkan diriku dengan satu channel yang tepat, aku jadi tahu harus jalan ke mana.

Aku tahu channel-ku. Tapi takut benar-benar hidup dari situ

Aku tahu banget bahwa nulis itu bukan cuma skill buatku. Itu bagian dari diriku. Aku hidup dari menulis. Literally. Dari awal karier sampai hari ini, semua hal yang membawaku sampai titik ini datang dari tulisan. Tapi justru karena itu, aku juga takut. Karena ini personal banget. Karena kalau sampai gagal di sini, rasanya kayak gagal sebagai diriku sendiri.

Dan itu yang bikin aku akhirnya ngelakuin hal yang aneh: merencanakan hidup terus-menerus, life planning sana-sini, tapi gak benar-benar ngelakuin.

Iya, mungkin aku terlalu stuck with my overthinking, and akhirnya gak berani do action and malah end-up only with life planning, life planning, and life planning, but not doing anything. Akhirnya apa? Menyesal ‘kan? Then, you know lah akhirnya apa? Penyesalan gak bikin waktu balik, yang ada malah looping di situ-situ aja.

So, daripada stuck dengan pikiran-pikiran tentang tujuan hidup, better find your channel. 🙂

Imago Dei & metafora mobil rongsok: dua hal yang mengubah cara pandangku

Di bagian-bagian menuju akhir dan penutup buku Psycho-Cybernetics, aku menemukan dua hal yang membuka pikiranku:

a) Imago Dei

Pertama, soal hewan dan manusia. Di buku itu dijelaskan bahwa hewan-hewan juga punya tujuan dalam hidup, tapi mereka di-preset. Hidup mereka sudah ditentukan secara otomatis. Mereka tahu kapan harus migrasi, kapan harus berkembang biak, tanpa mikir. Sementara manusia? Kita gak dikasih preset itu.

Kita justru diberi kebebasan untuk jadi siapa pun, melalui channel apa pun. We are not just living. We are the creator of our life. Karena kita diciptakan menurut gambar Allah. Imago Dei.

Dan ini yang benar-benar menyentuhku: kenapa kita harus membatasi hidup kita sendiri, kalau kita sendiri adalah refleksi dari Sang Pencipta?

Kenapa kita stuck di satu definisi tujuan hidup, padahal hidup itu bisa diekspresikan dalam banyak bentuk dan saluran?

Kenapa kita takut salah jalan, padahal mobil pun bisa puter balik?

b) Metafora Mobil Rongsok di Garasi

Mungkin karena kita terlalu takut gagal. Terlalu perfeksionis. Terlalu banyak mikir, sampai akhirnya… gak jalan sama sekali.

Kayak mobil rongsok di garasi. Gak jalan. Gak bergerak. Gak dipakai. Jadi gak perlu bensin. Tapi juga gak hidup. Padahal manusia itu bukan untuk parkir. Manusia adalah goal-striver.

Dan selama ini aku tahu aku punya banyak goal. Tapi tanpa action, semua itu jadi semacam file .docx yang gak pernah di-save. Berakhir di draft. Di otak. Di angan-angan.

Refleksi jujur: aku produktif, tapi kabur

Kalau aku jujur ke diriku sendiri, sebenarnya aku tahu banget apa yang selama ini aku hindari padahal penting: ngelakuin. Bukan cuma mikirin. Bukan cuma nulis di life plan. Tapi benar-benar bergerak.

Aku sempat merasa sangat produktif selama setengah tahun terakhir—dan kelihatannya memang begitu. Tapi kalau aku tarik garis mundur, itu sebenarnya bentuk pelarian juga. Aku kelihatan sibuk, tapi aku juga sedang ngelak dari rasa kosong yang belum selesai.

Dan ya, ini juga tentang kondisi mental dan fisikku yang sempat naik turun. Aku gak bisa pura-pura baik-baik aja terus. Acknowledging that alone udah jadi kekuatan tersendiri. Karena ketika kita gak lagi pura-pura “strong”, kita jadi lebih bisa milih langkah yang benar-benar bisa kita jalanin.

Kadang, terlalu produktif and terlalu mengejar semua hal tanpa struktur yang jelas and priority yang jelas justru bikin kita akhirnya “nyerah” and all or nothing.

Mungkin terlihat sibuk dan kelihatan jalan terus, tapi sebenarnya… capek banget. Kayak nahan napas panjang tapi gak pernah benar-benar menghembuskan. Makanya sekarang aku belajar untuk bikin daftar prioritas. Satu-satu. Gak harus semua langsung digarap. Dan itu juga bagian dari acknowledge bahwa aku manusia. Bahwa aku punya batas. Dan batas itu bukan kelemahan, tapi kompas.

Hidup bukan dicari artinya, tapi disalurkan ekspresinya

Sekarang aku tahu. Hidup itu bukan tentang nemu satu tujuan besar yang megah. Tapi tentang berani nyalurin hidup kita ke channel yang paling jujur. Dan kadang… itu berarti kembali nulis. Kembali duduk. Buka laptop. Dan mulai lagi.

Bukan karena kita udah yakin banget sama arah hidup kita. Tapi karena kita tahu: kita gak bisa terus diam.

Kita bukan mobil rongsok. Kita pencari arah. Dan selama kita berani nyalurin hidup ini—meski sedikit demi sedikit—it’s already enough.

Dan mungkin, kamu yang baca ini juga pernah atau sedang ada di titik yang sama. Kamu gak sendirian. Dan kamu gak perlu jawabannya sekarang. Cukup mulai aja dulu dari hal yang bikin kamu ngerasa hidup.

Karena setiap orang punya channel-nya masing-masing. Dan seperti yang ditulis dalam Psycho-Cybernetics, channel itu bisa muncul dalam banyak bentuk: dari sains, psikologi, agama, bahkan hal-hal simpel kayak olahraga, eksperimen resep baru, atau rutinitas pagi yang kamu suka.

Yang penting: channel itu bukan sesuatu yang harus selalu besar dan impactful. Kadang, hal yang bikin kamu look forward aja, itu udah cukup. Dan jangan lupa satu hal penting lainnya—social connection.

Kita tetap butuh orang lain. Kita gak hidup sendiri. Dan meminta bantuan, atau sekadar cerita, bukan tanda kelemahan—tapi salah satu bentuk penyaluran hidup juga.

🙂

Karena mungkin… itu bukan tujuan hidupmu. Tapi itulah saluran atau channel hidupmu.

Leave a comment

Be Part of the Movement

Get the latest posts by email.
No spam, just thoughtful notes.

Go back

Your message has been sent

Warning

Clarity 1-on-1 with Helda

Kalau kamu bingung arah karier, sering overthinking, susah fokus, dan hidup terasa “acak banget”, sesi ini bantu kamu nemu struktur yang sesuai kondisimu. Let’s talk!