Ada masa-masa di hidupku ketika melihat pencapaian orang lain terasa seperti tamparan yang diam-diam. Rasanya seperti aku ketinggalan di perlombaan yang bahkan aku sendiri gak sadar kapan dimulainya.
Hidupku terasa lambat, jalanku terasa berat, dan aku bertanya-tanya: apa yang salah dengan aku?
Ketika aku merasa “tertinggal”
Waktu usiaku 24 tahun, aku baru aja dapet kerjaan full-time di Jakarta dengan gaji UMR. Teman-teman seumuranku? Udah banyak yang mikirin pernikahan, punya rumah, bahkan sudah mapan. Aku? Baru mulai dari nol. Sementara banyak teman-temanku sudah menata hidupnya, aku bahkan baru berani bermimpi kecil.
Aku merasa frustasi. Minder. Merasa dunia gak adil. Aku merasa diriku “below average.” Belum pernah kuliah, belum cantik, belum punya modal apa-apa. Rasanya kayak gak mungkin aku bisa kejar apa yang orang lain punya.
Kalau aku ingat masa itu, ada rasa campur aduk antara ketawa dan haru. Karena hari ini, aku bisa bilang: aku bangga dengan diriku yang dulu, yang walaupun kecil, tetap bertahan dan berjalan.
Ternyata framework-ku yang salah
Beberapa tahun belakangan, terutama setelah memasuki usia 30-an, aku mulai melihat banyak hal dengan lebih jernih. Salah satunya berkat mata kuliah Psikologi Perkembangan yang aku dapatkan di kuliah Psikologi tentang tahapan perkembangan Erikson *ceileh*. Di tahap usia dewasa awal, kita memang diuji dengan tantangan membangun identitas diri yang kuat dibanding sekadar mengikuti standar eksternal.
Ini membuatku sadar, mungkin aku bukan gagal. Mungkin framework berpikirku yang salah. Bahwa validasi sebenarnya bukan datang dari achieving milestone orang lain, tapi dari bagaimana aku membangun hidupku sendiri sesuai jalur yang memang buatku.
Pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya membawaku mencari jawaban lebih dalam… dan aku ketemu dengan teori di Psycho-Cybernetics karya Maxwell Maltz.
Aku belajar tentang konsep self-image dan goal mechanism—bagaimana manusia memiliki blueprint mental yang unik yang mengarahkan perjalanan hidup masing-masing.
Tubuh dan pikiran manusia itu seperti navigasi otomatis. Tapi yang sering kita lupakan: setiap orang punya tujuan (goal) yang berbeda. Jalannya beda. Ritmenya beda. Bahkan “pencapaiannya” pun berbeda.
Kalau GPS-mu disetel ke Bandung, dan GPS temanmu ke Bali, jalannya tentu beda. Waktunya beda. Tantangannya beda. Jadi kenapa harus membandingkan diri dengan orang lain?
Tapi kenapa kita tetap saja membandingkan diri dengan orang lain?
Sebelum memahami kenapa membandingkan membuat kita merasa gagal, penting buat paham: kenapa kita membandingkan diri sejak awal.
- Survival Mechanism: Secara evolusi, manusia membandingkan kekuatan, status, dan peluang untuk bertahan hidup di lingkungan sosialnya.
- Social Proof: Kita dibesarkan dalam budaya yang menilai “keberhasilan” dari validasi sosial. Kalau banyak orang menganggap sesuatu sukses, kita menganggapnya mesti jadi target kita juga.
- Self-Image Calibration: Menurut Psycho-Cybernetics, manusia butuh “feedback” untuk menyesuaikan self-image. Kalau salah sumber feedback—misalnya membandingkan hidup dengan orang lain—self-image kita rusak.
Kenapa membandingkan membuat kita merasa gagal

Berikut alur logis sederhana kenapa membandingkan diri bikin kita merasa gagal:
Refleks Membandingkan ➔ Salah Membaca Peta Hidup Orang ➔ Ngerasa Tertinggal ➔ Salah Mengkalibrasi Diri ➔ Rasa Minder dan Gagal
atau lebih terstruktur:
- Self-Image: Kita punya blueprint hidup masing-masing.
- Goal Mechanism: Pikiran dan tubuh kita mengarahkan ke goal itu.
- Comparative Error: Kita mulai merasa “kurang” saat membandingkan jalur hidup kita dengan orang lain.
- Emotional Consequence: Rasa gagal, minder, malu muncul—padahal salah membandingkan.
- Correction Needed: Yang perlu diperbaiki bukan progress kita. Tapi “siapa” yang kita pilih untuk dibandingkan. Idealnya? Bandingkan hanya dengan diri kita sendiri di masa lalu.
Bersyukur dan lakuin refleksi pribadi
Saat ini, aku lebih banyak menulis di jurnal. Menyusun mimpiku sendiri. Mengingatkan diri bahwa pencapaian bukan soal kecepatan, tapi tentang konsistensi dan kesadaran.
Aku juga lebih sering flashback ke hidupku yang dulu. Dari anak warnet yang ambil kerja dua shift dari jam 7 pagi sampai jam 11 malam tapi gaji pas-pasan, ke aku hari ini yang menulis, berbagi, bertumbuh.
Kalau dulu aku sering menangis karena merasa dunia gak adil, sekarang aku menangis karena bersyukur.
Pesan buat kamu
Kalau hari ini kamu merasa pelan, ingat:
- Kamu gak mulai dari tempat yang sama dengan orang lain.
- Kamu gak dikalibrasi untuk tujuan hidup orang lain.
- Kamu gak gagal. Kamu lagi bertumbuh di jalurmu sendiri.
“You are not late. You are just living your custom timeline.”
Setiap langkah kecil yang kita lakuin itu valid. Setiap detik usaha kita itu penting.
Stop membandingkan progressmu dengan orang lain, tapi BERSYUKUR atas perjalanan hidup kita.
Karena hidup kita ini, seperti yang aku dapat dari series Dark Matter, mungkin bukan hidup yang sempurna. Tapi ketidaksempurnaan itulah yang bikin hidupmu bermakna.

Leave a comment