Pertengahan Februari sampai hampir akhir Maret ini, aku sempat vakum dari CuapHelda. Bukan karena kehilangan semangat. Tapi karena… hidup memang terjadi.

Pekerjaan cukup hectic karena ada event kantor. Lalu, aku harus menjalani perawatan tumor selama hampir tiga minggu di Kuala Lumpur. Jujur, itu salah satu masa paling draining secara fisik dan mental.

Bukan cuma urusan konten yang terbengkalai. Aku bahkan sampai harus membatalkan sesi 1on1 dengan peserta webinar-ku. Kuliahku juga… ya, bisa dibilang ketinggalan banget. Aku sempat bingung—harus mulai dari mana? Harus gimana?

Sementara itu, aku juga belum bisa olahraga lagi seperti dulu. Jalan kaki pun masih pelan-pelan. Rasanya… jauh banget dari semangat yang sebelumnya aku tulis sendiri di blog soal pause isn’t failure.

Dan ya, bicara emang lebih gampang daripada praktiknya. Aku sendiri nulis: “pause itu bukan gagal”. Tapi pas benar-benar mengalami, ternyata gak semudah itu buat percaya.

Menulis dulu, biar bisa jalan lagi

Hari ini, aku baca lagi tulisan blog-ku sendiri, judulnya “Saat Hidup Memaksa Kita Berhenti.” Dan ajaibnya, aku merasa ditampar oleh versi diriku sendiri yang lebih waras.

Tiba-tiba aku merasa ingin menulis lagi. Bukan buat perform. Bukan buat update ke pembaca. Tapi karena… aku butuh. Aku perlu nulis dulu biar pikiranku lebih jernih. Aku merasa lebih plong saat menulis. Mood-ku lebih baik.

Selama sakit, aku gak bisa ngapa-ngapain. Otakku gak bisa fokus baca buku. Dan yes, aku sempat jatuh ke kebiasaan doom scrolling setelah perawatan. What a shame… but also, what a real part of healing.

Refleksi: fokus ke diri sendiri

Ada satu hal menarik selama masa sakit: aku punya waktu untuk diam. Untuk memandang plafon ruang operasi. Literally.

Gak ada handphone. Gak ada gangguan. Dan di saat-saat itulah, aku mulai mikir banyak hal. Tentang diri sendiri. Tentang hidup. Tentang apa yang sebenarnya aku rindukan.

Aku sadar bahwa selama ini aku suka menulis, berpakaian rapi, merawat diri, tampil percaya diri. Tapi seringkali aku sendiri yang underestimate diriku.

Setelah keluar dari rumah sakit, hal pertama yang aku tunggu-tunggu banget adalah… mandi. Yes. Mandi, dandan, pakai baju yang aku suka. Dan saat aku melihat diriku di cermin, aku merasa, “I found me again.”

Jeda bukan gagal. Tertinggal pun gak apa-apa

Aku sempat merasa frustrasi. Karena kuliah ketinggalan. Karena kerjaan terbengkalai. Karena gak bisa olahraga. Karena gak bisa “seproduktif dulu”.

Tapi sekarang, aku bisa bilang: It’s okay.

Aku semakin menghayati tulisanku sendiri sebelumnya: PAUSE ≠ RESET. Dan bahkan kalaupun kita terlambat dibanding orang lain, itu juga gak apa-apa.

Waktu jeda ini membuatku kembali terhubung dengan diriku sendiri. Membuatku ingat siapa aku. Apa yang bikin aku merasa hidup.

Dan saat aku nulis blog ini, aku hampir nangis. Tapi bukan karena sedih. Tapi karena… aku bangga.

Aku masih di sini. Aku berhasil melewati semua ini. Dan aku… menulis lagi.

Sempat kepikiran juga emang bisa konsisten selamanya?

Pas aku lagi buka arsip konten dan baca-baca lagi tulisan lamaku, ada satu bagian yang benar-benar meng-encourage aku untuk bangkit dan menulis lagi. Aku pernah menulis ini:

Konsistensi bukan berarti harus sempurna setiap hari. Konsistensi berarti selalu kembali, tidak peduli berapa kali harus berhenti.

Dan bagian itu… bikin aku terdiam. Karena aku ngerasa banget kalimat itu bukan cuma ditujukan untuk orang lain, tapi buat diriku sendiri.

Aku copy-paste lagi bagian kelanjutannya di sini ya:

Aku sempat bertanya-tanya, bisa gak sih kita punya habit yang bener-bener gak pernah skip?

Dan jawabannya? Gak.

Karena hidup itu dinamis, gak ada yang bisa 100% pasti. Yang bisa kita lakukan bukan mencegah agar habit kita gak pernah skip, tapi mempersiapkan diri supaya kita selalu bisa balik lagi ke habit itu.

Itu pelajaran besar yang aku ambil dari pengalaman ini. Dan sekarang aku bisa bilang:

  • Konsistensi bukan berarti “harus sempurna setiap hari.”
  • Konsistensi berarti selalu kembali, tidak peduli berapa kali harus berhenti.

I’m writing again—because this is me

Sekarang, aku siap nulis lagi. Karena ini bukan cuma soal konten. Tapi soal identitasku.

Menulis itu terapiku. Mood boost-ku. Dan cara aku mengumpulkan kembali potongan diriku yang sempat tercecer.

Welcome back, Helda. Let’s write again. And keep going.

One response to “Menemukan Diri Sendiri Lagi Setelah Berhenti Sejenak”

  1. […] let’s be honest, ada hari-hari di mana aku gak bisa depan monitor lama karena efek operasi tumor pituitari-ku (yang ini kapan-kapan aku cerita detail, belum sempet euy). Mata kabur kayak kena kabut. Mau […]

    Like

Leave a comment

Be Part of the Movement

Get the latest posts by email.
No spam, just thoughtful notes.

Go back

Your message has been sent

Warning

Clarity 1-on-1 with Helda

Kalau kamu bingung arah karier, sering overthinking, susah fokus, dan hidup terasa “acak banget”, sesi ini bantu kamu nemu struktur yang sesuai kondisimu. Let’s talk!