Sahabatku sampai kaget pas aku cerita ini. “Wait, Helda… lo pas kelas 5 SD gak bisa perkalian susun ke bawah? Serius?”

Aku ngangguk sambil ketawa. “Iya. Asli. Lemot banget.” 😂 Dia gak nyangka. Karena di matanya (dan banyak orang), aku terlihat “cepat” dan taktis.

Padahal aslinya? My brain takes time. But that “slowness” is exactly why I learned to prepare so hard. Yes, the truth is: My brain is slow.

TRUST ME!

Ada memori yang masih vivid di kepalaku sampai sekarang. Kelas 5 SD. Ujian Matematika. Aku duduk di bangku kayu, menatap soal perkalian susun ke bawah (vertical multiplication). Anak-anak lain udah sibuk mencoret-coret kertas buram mereka, suara gesekan pensil memenuhi ruangan.

Sementara aku? Aku stuck. Tanganku dingin. Mataku panas. Aku mau nangis rasanya karena… aku gak bisa. Bukan “belum bisa”, tapi benar-benar blank. Di usia di mana anak-anak sebaya seharusnya udah menaklukkan perkalian dasar, aku merasa tertinggal jauh di belakang.

It was embarrassing. It felt isolating. Mungkin kamu pernah merasakan momen seperti ini. Momen di mana kamu merasa “kurang” sebelum perlombaan bahkan benar-benar dimulai.

The survival mechanism

Keadaan memaksaku buat beradaptasi. Saat masuk SMA, tantangannya naik level. Aku anak dari pinggiran kota yang sekolah di kota Medan. Untuk pertama kalinya. Bertemu anak-anak kota yang lebih modern, lebih cepat nangkep, dan lebih percaya diri, insecurity-ku meroket.

Aku sadar satu hal krusial saat itu: If I rely on my raw processing speed, I will lose. Kalau aku mengandalkan kemampuanku menangkap materi on the spot di dalam kelas, aku bakal tertinggal. Otakku butuh waktu loading yang lebih lama dibanding mereka.

So, I created a system. Sekarang aku menyebutnya The Pre-Study Strategy. Ya, dulu aku gak ngerti sih istilah ini. Hehe.

Setiap malam sebelum pelajaran (terutama Fisika dan Matematika), aku akan curi start. Aku buka buku paket, aku baca duluan, aku hapal rumusnya duluan. Aku mencoba mengerti logikanya saat suasana sepi dan tanpa tekanan.

Besoknya di kelas? Pas guru menjelaskan, teman-temanku baru mencoba mencerna informasi baru. Sedangkan aku? I was just validating. Aku hanya mencocokkan apa yang sudah kupelajari semalam dengan penjelasan guru.

“Oh, bener berarti pemahamanku tadi malam.” “Oh, bagian ini kemarin aku salah tangkap, sekarang jadi jelas.”

Hasilnya? Aku terlihat “pintar”. Aku bisa menjawab pertanyaan dengan cepat pas di kelas. Hahaha.

Anyway, aku pernah juara lomba Fisika se-kabupaten pas SMP lho (sekabupaten sih, but ya buatku itu achievement dengan kondisiku pada saat itu).

Orang melihat hasilnya, tapi mereka gak lihat extra hours yang aku habiskan hanya untuk menyejajarkan garis start-ku dengan orang lain.

The “ATM” mindset: curiosity as currency

Keterbatasan ekonomi juga memaksaku buat lebih kreatif. Karena keluargaku gak mampu liburan mewah, aku “traveling” lewat tulisan. Aku gak punya uang buat beli buku baru? Aku pinjam buku tetangga atau perpustakaan. Baca buku agama yang ada di rumah. Nonton berita. Nonton MTV. Dengerin radio dengan beragam jenis musik.

Di sinilah aku tanpa sadar mengasah teknik ATM: Amati, Tiru, Modifikasi. Karena aku merasa “lambat”, tapi aku juga paham copy-paste also a big no. Aku belajar memastikan informasinya benar-benar masuk ke otakku.

Caranya? Writing it down. Re-writing. Paraphrasing. Aku menulis ulang apa yang aku baca dengan bahasaku sendiri. Aku bikin esai kecil-kecilan dari apa yang aku baca dan dengar. Proses “lambat” inilah – menulis ulang, memparafrase – yang ternyata membangun vocabulary dan struktur berpikirku hari ini.

Mungkin dulu makannya kurang gizi kali ya, minum air tajin, bukan susu mahal. Just kidding. (Sahabatku sampai tertawa pas aku bilang ini). Tapi poinnya adalah: Whatever I lacked in nutrition or speed, I made up for in curiosity.

The audacity to output

Kebiasaan menulis ulang ini perlahan menumbuhkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar “cara belajar”. Ia menumbuhkan keberanian.

Waktu SMP, aku ingat pernah nekat mengirimkan essay buat ikut lomba dari UNICEF. Apakah aku menang? Gak sih. Apakah ada kabar kelanjutannya? Gak ada sama sekali.

Tapi anehnya, I didn’t feel failed. Justru aku bangga. Aku bangga punya “kemauan” buat mencoba. Aku bangga punya nyali buat mengirimkan suaraku ke luar sana.

Sejak saat itu, menulis bukan lagi beban, tapi channel. Aku jadi rajin menulis cerpen, menuangkan pikiran-pikiran hasil dari apa yang aku baca. Bahka dulu aku pengin banget jadi editor kolom di majalah atau koran gitu. Tahu kan biasanya di halaman awal ada editorial’s note gitu deh. Aku merasa itu keren banget!

Walaupun impian itu belum kesampaian sampai detik ini, result-nya jauh lebih manis. 🙂

Hari ini, aku bisa dengan bangga bilang: I am a writer. Bukan karena gelar atau jabatan di majalah, tapi karena dari tulisanlah aku akhirnya bisa menafkahi diriku sendiri. Keterbatasan yang dulu kupikir kelemahan, kini justru menjadi fondasi karierku.

From classroom to boardroom

Kebiasaan ini ternyata terbawa sampai ke dunia profesional. Jujur, sampai sekarang, kalau ada topik baru di meeting yang aku gak kuasai, aku jarang langsung kasih komen.

Kenapa? Karena aku takut ASBUN (Asal Bunyi). Aku tahu otakku butuh waktu untuk mencerna konteks. Kalau aku dipaksa beropini detik itu juga, aku takut hasilnya dangkal.

Dulu, aku sering merasa bersalah. “Kok orang lain bisa tektokan cepat ya? Kok aku diem aja?” Aku merasa kurang kompeten. Jujur aja aku sering merasa kayak Impostor aja gitu. Aku merasa aku ini “penipu” yang cuma pura-pura pintar.

Tapi sekarang, aku melihatnya berbeda. Diamku di meeting bukan karena kosong. Diamku adalah proses processing. Aku mendengarkan, mencatat, dan membiarkan informasinya mengendap. Biasanya, besok paginya, barulah ide-ide itu muncul dengan struktur yang lebih mature. Pas aku bicara besoknya, it represents my best thinking, not my fastest reaction.

The psychology of “slowness”

Setelah belajar Psikologi, aku akhirnya punya nama untuk fenomena ini. Mungkin ini yang namanya Metacognition dan Cognitive Pacing.

Aku sadar bagaimana aku belajar (knowing how I learn). Ternyata, strategi “mencuri start” belajar itu adalah bentuk Scaffolding, yaitu struktur bantuan yang sengaja aku bangun buat menopang kognisiku sendiri.

And also it wasn’t cheating. It wasn’t fake. It was Self-Compassion. Aku menyayangi diriku yang “lambat” ini dengan memberinya persiapan yang dia butuhkan, supaya dia gak panik pas di “medan perang”.

Find your own way to learn

Kalau kamu membaca ini dan sering merasa “loading lama” dibanding teman kerjamu atau teman kuliahmu, please know this:

Speed is not the only metric of intelligence. Menjadi lambat bukan berarti kamu rusak. Mungkin, kayak aku, kamu cuma butuh “pemanasan” yang lebih panjang. Mungkin kamu butuh menulis ulang untuk mengerti. Mungkin kamu butuh diam dulu sebelum bicara.

And that is perfectly okay.

Find your own way to learn. Temukan ritmemu sendiri. Gak harus kok buat paksakan otakmu lari sprint kalau desain aslinya memang marathon.

Structure isn’t about controlling yourself to be faster. Structure is compassion for your future self. 🙂

Leave a comment

Be Part of the Movement

Get the latest posts by email.
No spam, just thoughtful notes.

Go back

Your message has been sent

Warning

Clarity 1-on-1 with Helda

Kalau kamu bingung arah karier, sering overthinking, susah fokus, dan hidup terasa “acak banget”, sesi ini bantu kamu nemu struktur yang sesuai kondisimu. Let’s talk!