Ada arsip ingatan yang gak pernah benar-benar pudar.
Aku tumbuh di keluarga Batak di mana ibuku bangun paling pagi dan tidur paling malam. Beliau berjualan ke pasar setiap hari, mengatur keuangan keluarga, dan tetap disebut “istri yang harus tunduk.”
Gambaran itu melekat kuat dalam ingatan masa kecilku — tentang bagaimana perempuan di sekitarku bekerja paling keras, tapi pengakuan sosial sering kali berpihak pada laki-laki.
Waktu mempelajari topik double burden di mata kuliah Psikologi Perempuan dan Gender, aku merasa teori yang dijelaskan di kelas terasa hidup kembali di depan mata.
Materinya menjelaskan gimana struktur sosial menempatkan perempuan di dua ranah sekaligus — domestik dan publik — dengan ekspektasi agar keduanya dijalankan secara sempurna (Matlin & Foushee, 2022). Aku juga jadi ingat cerpen di Kompas yang kubaca waktu SMP, tentang seorang istri yang berjualan di pasar buat menghidupi keluarga, sementara suaminya nongkrong di lapo.
Dua dekade kemudian, pola itu belum hilang. Cuma berganti bentuk aja.
Pola yang bisa jadi HANYA berubah wujud
Di kota besar hari ini, ritmenya berubah rupa. Perempuan “modern” dituntut buat sukses di karier, tapi juga menjaga rumah tangga yang harmonis dan aesthetic. Paradigma lama tetap hidup — cuma tampil lebih lembut, lebih aspirational.
Terkadang, bahkan dalam pilihan yang kita anggap bebas, masih ada bisikan lama yang tertanam: bahwa nilai perempuan tetap diukur dari kemampuannya untuk mengurus, mengatur, dan menenangkan.
Mungkin kita gak sadar, tapi tubuh kita masih menyimpan ritme itu. Ritme yang membuat kita sulit diam, sulit tenang, sulit merasa cukup.
Dan ironisnya, di 2025 ini, bentuknya makin halus. Bukan lagi perintah dari luar, tapi bisikan dari dalam diri: kita ingin terlihat tenang, tapi gak boleh terlihat kalah. Ketenangan pun jadi performa.
Warisan yang membentuk kita
Ritme jam tiga pagi itu gak cuma membentuk ingatanku; ia membentuk blueprint aku. Nasihat Ibu — bahwa perempuan harus bisa kerja, cari uang sendiri, gak bergantung pada siapa pun — adalah strategi bertahan hidup yang lahir dari realitasnya.
Warisan itu menempa kita jadi perempuan yang kuat, bisa apa aja, selalu siap. Tapi di baliknya, ada kontradiksi yang jarang kita sadari: kemandirian yang dulu jadi tameng, kini bisa terasa seperti penjara.
Mungkin tanpa sadar, aku juga membawa ritme itu dalam cara menilai diriku sendiri.
Aku merasa bersalah kalau lelah.
Aku malu kalau butuh bantuan.
Seolah kekuatan adalah satu-satunya bentuk cinta yang valid.
Kita jadi perempuan yang bisa segalanya, tapi kadang lupa gimana rasanya bersandar. Mungkin itu paradoksnya, yaitu kita ingin setara. Akan tetapi juga pengin punya ruang buat tenang tanpa harus selalu kuat.
Kesetaraan yang lebih dalam daripada 50:50
Dulu aku pikir kesetaraan berarti membagi segalanya secara adil — kerjaan rumah, karier, peran, bahkan cinta. Tapi makin lama aku belajar, terutama di mata kuliah Psikologi Perempuan dan Gender, aku sadar: kesetaraan bukan tentang hitung-hitungan, tapi tentang kesadaran.
Karena selama ini, banyak dari kita tumbuh di dunia yang gak benar-benar adil. Bukan cuma untuk perempuan, tapi juga untuk laki-laki yang diajarkan buat menekan rasa lemah mereka.
Aku inget waktu menonton video The Male Inequality Problem dari Richard Reeves. Di situ, Reeves bilang kalau banyak laki-laki kehilangan arah karena standar maskulinitas yang kaku: harus kuat, gak boleh rapuh, gak boleh kalah. Dan di titik itu aku sadar: sistem yang selama ini menindas perempuan… ternyata juga melukai laki-laki dengan cara berbeda.
Kita semua sama-sama jadi korban dari peran yang gak pernah kita pilih. Perempuan harus bisa segalanya, laki-laki gak boleh butuh siapa-siapa. Padahal dua-duanya cuma ingin hal yang sama, yaitu dimengerti.
Aku juga inget waktu menganalisis film Barbie. Di sana, perempuan memegang semua posisi penting, sementara laki-laki cuma “do beach.” Tapi saat struktur itu dibalik, dunia juga tetap kacau. Dan itu ngasih pelajaran penting: dominasi, siapa pun pelakunya, selalu melahirkan kehilangan.
Kesetaraan sejati gak lahir dari siapa yang lebih kuat, tapi dari siapa yang berani lebih jujur. Mengakui bahwa kita semua sama-sama capek memerankan peran yang sempurna.
Kadang aku mikir, mungkin bentuk paling murni dari kesetaraan adalah saat kita berhenti berlomba, dan mulai melihat: di balik setiap perempuan yang lelah membuktikan diri, ada laki-laki yang diam-diam takut gagal.
Berani menerima dan melepaskan
Kesetaraan bukan tentang 50:50. Kesetaraan adalah ruang di mana dua sisi bisa rapuh tanpa rasa bersalah. Ruang di mana kita gak harus jadi versi “kuat” untuk bisa dicintai. Karena mungkin yang kita cari dari awal bukanlah keadilan, tapi pengertian.
Dan clarity yang sejati lahir bukan dari ingin menang tapi dari berani memahami. Yaitu menerima dulu, kemudian ada yang dilepaskan pula.
Kita mungkin gak bisa memutus pola yang diwariskan, tapi kita bisa mulai melihatnya dengan jujur. Menerima bahwa sebagian dari ritme itu — semangat bertahan, keuletan, dorongan untuk kuat — pernah menyelamatkan kita. Akan tetapi sisanya, yaitu bagian yang membuat kita terus menahan diri untuk terlihat sempurna – mungkin sudah saatnya kita lepaskan.
Karena clarity bukan berarti menghapus masa lalu, tapi belajar hidup dengan sisi-sisi yang dulu kita sembunyikan. Belajar untuk gak selalu kuat, dan mengizinkan diri bernapas lebih tenang.

Leave a comment