Waktu itu aku udah punya daily schedule. Udah rapi banget, bahkan ada slot untuk istirahat. Tapi anehnya, aku malah makin lelah. Makin sumpek. Kepala rasanya penuh banget. Mataku kabur, literally.
Sampai akhirnya aku harus akui bahwa aku gak bisa lagi ngejar semuanya dalam satu waktu. Ada hari di mana aku ngerasa udah full effort, tapi kok ya gak ada hasil. Gak puas, I feel like doing punch in the air. Aku malah ngerasa gak ada goal-nya juga. 🙁
Ternyata, salah satu penyebabnya: aku terlalu ambisius untuk masukin semua hal ke dalam satu hari. Pengin olahraga, kuliah, pengin bikin konten, mau grow juga sebagai Marketing Strategist. Tapi energiku ya satu. Badanku cuma satu.
And, let’s be honest, ada hari-hari di mana aku gak bisa depan monitor lama karena efek operasi tumor pituitari-ku (yang ini kapan-kapan aku cerita detail, belum sempet euy). Mata kabur kayak kena kabut. Mau dipaksain gimanapun, yang ada malah nyiksa diri secara fisik namanya itu mah.
Bukan nyari jawaban, tapi butuh ditanya balik
Titik baliknya waktu aku akhirnya memutuskan buat pakai ChatGPT, bukan buat cari solusi instan, tapi buat bantu aku nanya ke diri sendiri.
Jadi dari awal aku memang setup prompt supaya dia justru balik nanya ke aku. Karena aku tahu, aku cuma butuh trigger buat nulis dan mikir. And it turns out, begitu pertanyaannya keluar, aku langsung pengin jawab hehe.
Dari situlah semua isi kepala yang awalnya numpuk mulai aku tumpahin satu-satu.
Insight dari psikologi yang bikin lebih nyambung
Di dunia psikologi, ini ada istilahnya: cognitive overload. Saat otak kebanjiran informasi dan tugas, kita jadi sulit mikir jernih, apalagi ambil keputusan.
Menurut Daniel Kahneman dalam konsep dual process theory (aku pelajarin ini di mata kuliah Psikologi Kognitif), kita punya dua sistem berpikir—yang cepat dan otomatis, dan yang lambat tapi reflektif. Nah, kalau udah overwhelmed, sistem lambat ini bisa shutdown. Makanya kita kayak “blank” pas mau milih apa yang penting duluan.
Tapi begitu aku mulai nulis—dalam bentuk jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ChatGPT—hal-hal yang tadinya ruwet mulai bisa aku pilah satu-satu.
Ternyata emang ada hubungan antara expressive writing dan kemampuan berpikir jernih. Nah, ini juga aku pelajari di mata kuliah yang sama.
Penelitian dari Pennebaker menunjukkan bahwa menulis tentang perasaan atau pikiran secara rutin bisa membantu otak menyusun ulang informasi dan bahkan nurunin stres.
Anyway, aku sengaja masukin insight kayak gini supaya aku juga inget lagi sama yang udah kupelajari, dan makin nyambung antara teori sama pengalaman sehari-hari yang aku jalanin sekarang.
Gimana aku struktur ulang pikiranku
Setelah itu aku mulai mindmap sendiri. Caranya?
- Aku mulai dengan nulis semua isi kepala. Gak usah rapi, gak usah runtut—pokoknya semua yang bikin riuh dulu ditumpahin aja.
- Semua pikiran itu aku tumpahin ke ChatGPT, and I asked them to create questions for me to answers. Jadi, malah kayak prompting buat akunya.
- Dari situ, aku nulis lagi—tapi jadinya lebih rapih dan terstruktur karena aku jawab pertanyaan-pertanyaan dari ChatGPT. Sembari baca pertanyaannya, aku malah udah dapat hints apa yang bisa aku lakuin. Kemudian, pas nulis, pikiran aku juga makin terbuka dan tahu harus apa dan apa.
Dari brainstorming awal bareng ChatGPT, aku sempat ditanya: “Kalau disuruh pilih, apa prioritasmu dalam 30 hari ke depan?” Itu momen penting karena aku jadi bener-bener mikir, apa sih yang kalau aku kerjain duluan, hasilnya bakal terasa cepat dan bantu ningkatin mood and impact to the other aspect of my life?
Jawabanku waktu itu: turun berat badan. Karena aku tahu ini hal yang sangat berpengaruh ke energi dan mood-ku sehari-hari. Dan ternyata, begitu aku commit ke satu hal itu dulu, aku jadi punya space buat mulai beresin hal-hal lain. Gak kerasa chaos lagi. Karena satu hal udah mulai kelihatan progress-nya.
Dari situ aku jadi sadar pentingnya micro-goals. Jadi aku fokus ke satu hal dulu, biar bisa dapat ‘rasa berhasil’. Kayak: “Oke, hari ini aku fokus di olahraga dulu, tapi aku ngerasa berhasil karena aku gak end-up with binge eating or do nothing karena stressful.”
Di sini, aku mulai nerapin yang namanya tema harian. Jadi aku gak multitasking atau bahkan terlalu banyak switch-task. Ada hari untuk kuliah, hari untuk konten, hari untuk istirahat beneran. Sisanya bonus aja. Yang penting ada satu fokus per hari, biar aku gak lompat-lompat dan ending-nya malah capek mental.
Kalau kamu juga ngerasa ruwet…
Ini simple, tapi efeknya kerasa banget. Aku jadi gak marah sama diriku sendiri lagi karena gak bisa ngejar semuanya sekaligus.
Kalau kamu juga lagi ngalamin hal yang sama, mungkin kamu gak butuh solusi instan. Mungkin kamu cuma butuh ngobrol sama pikiranmu sendiri. Dan salah satunya bisa dengan mulai menulis aja dulu.
Kalau bingung mau mulai dari mana, boleh banget pake bantuan AI. Tapi jangan untuk cari jawaban. Pakai dia untuk nanya ke kamu. Karena kadang jawaban terbaik udah ada di kepala kita, cuma lagi ketumpuk aja.
Beresinnya satu per satu. Gak harus semua selesai hari ini. Yang penting: mulai dari yang paling penting hari ini, minggu ini, atau 30 hari ke depan.
Dan kalau kamu butuh teman mikir? Ada AI… atau coba ngobrol aja dulu sama siapa aja yang kamu percaya or apa yang kamu percaya. 🙂

Leave a comment