Dendam

Saya teringat kata-kata salah satu psikiater saya sekitar dua tahun lalu. Beliau bilang bahwa saya masih punya dendam masa lalu yang belum bisa saya lepaskan.

Saya harus akui itu.

Tapi terlalu banyak dendam yang sudah bercokol dalam diri saya. Hingga akhirnya saya gak tahu mana yang sebenarnya bikin diri saya seperti sekarang.

Entah itu dendam masa lalu dimana ayah saya mabuk-mabukan dan bikin ibu saya tersiksa. Entah itu dendam ketika akhirnya ibu saya sakit dan gak kuat lagi yang akhirnya meninggal. 

Entah itu dendam ketika ayah menikah lagi, padahal belum setahun ibu saya meninggal. Entah itu dendam ketika ayah gak memedulikan anak-anaknya hingga hidup sendirian.

Dan banyak lagi dendam lain yang tak bisa saya sebutkan di sini.

Yang pasti, saya sering merasa hidup ini tidak adil. Sebab meskipun saya sudah melewati banyak fase hidup yang tidak menyenangkan itu, kebahagiaan dan hidup normal tak kunjung datang. Hingga hari ini.

Puncaknya ketika beberapa tahun lalu, saya ditinggalkan oleh seseorang. Di situ, harapan yang sudah dipupuk selama lebih dari dua tahun pupus. Padahal saya menaruh harapan bahwa dialah yang paling mengerti dan menjaga saya.

Saya mengatakannya padanya bahwa saya akan menyakiti diri saya, hidup bebas, dan tidak akan menjalankan agama apapun. Dan benar saya melakukannya.

Hampir tiga tahun ini, sejujurnya saya mulai meragukan Tuhan itu ada dan tidak percaya pada agama apapun. Akan tetapi, dalam hampir tiga tahun ini pula, saya merasa menjadi “manusia”.

Entah karena ini hanyalah tindakan balas dendam atas masa lalu. 

Saya belum bisa lepas dari dendam entah yang mana itu hingga hari ini. Saya masih tidak tahu akan menjadi apa di masa depan. Entah kemana dendam ini akan membawa saya.

Leave a comment